ADA kalimat peringatan yang sangat klise digaungkan di negeri ini, tapi tak kunjung dipatuhi. Itulah peringatan berisi larangan membakar lahan karena memicu bencana asap yang memedihkan. Sudah lebih dari satu dekade bencana asap akibat pembakaran lahan terus datang saban tahun. Padahal, teriakan lantang peringatan juga terus direpetisi dari waktu ke waktu. Tahun ini, misalnya, bencana asap bahkan datang dua gelombang dengan intensitas yang meningkat. Gelombang pertama terjadi April lalu, saat asap yang sangat pekat menyelimuti wilayah Riau dan sekitarnya. Reda sebentar, asap akibat pembakaran hutan dan lahan mulai menggila menyelimuti pesisir timur Sumatra, yakni Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan. Bahkan, asap telah memasuki Malaysia dan Singapura.
Dalam waktu sehari, kabut asap kian tebal karena dipicu melonjaknya jumlah titik api hingga mencapai 782 titik dari sehari sebelumnya 466 titik. Kualitas udara di Pekanbaru, Palembang, dan Singapura pun menurun ke level sedang. Kondisi serupa juga menyelimuti Kalimantan Selatan. Di wilayah tersebut asap bahkan sudah mengganggu transportasi warga dan aktivitas belajar di sekolah. Begitulah, negeri ini tak henti-hentinya memproduksi gaya orang-orang kalah, yang tidak saja malas tapi juga jauh dari kepedulian terhadap lingkungan. Celakanya, aksi kontra peradaban itu hampir selalu diekspor ke negeri tetangga, Malaysia dan Singapura.
Kita boleh saja berdebat bahwa warga atau korporasi at dalam pembakaran lahan dari negeri jiran itu juga terlibat dalam pembakaran lahan di Sumatra dan Kalimantan. Namun, langkah tersebut bisa dicegah jika pihak yang memiliki otoritas menjaga lingkungan sigap dan tegas. Persoalannya, alih-alih tegas dalam menerapkan aturan dan menegakkan sanksi untuk pelaku kejahatan lingkungan, tak sedikit pemegang otoritas yang justru bermain mata dengan pembakar lahan. Aksi `pagar makan tanaman' itu dilakukan demi mengejar pundi-pundi yang ditawarkan.
Maka, wajar belaka jika banyak kalangan yang secara sinis mengatakan bahwa di balik bencana hampir selalu ada `hikmah' berupa proyek yang bisa menggerakkan mesin pendulang uang. Padahal, sebagian para pelaku dan pemegang otoritas penjaga lingkungan itu merupakan orang-orang berpendidikan. Kondisi tersebut membenarkan pula postulat yang menyebutkan bahwa kesadaran lingkungan tidak selalu ada hubungannya dengan pendidikan atau peradaban. Banyak orang dengan tingkat pendidikan formal yang rendah justru memiliki peradaban yang tinggi dalam menjaga lingkungan.
Karena itulah, kendati klise dan mengulang-ulang seruan, kita tak boleh lelah mendesak negara untuk hadir dan dirasakan kehadirannya dalam bencana asap. Negara harus memastikan bahwa instrumen pembuat jera dan pencegah kejahatan pembakaran hutan dan lahan berjalan efektif. Apalagi, Indonesia akhirnya meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution/AATHP). RUU AATHP itu resmi disahkan pada Sidang Paripurna DPR Selasa (16/9), setelah 12 tahun ditandatangani.
Dengan meratifikasi undang-undang tersebut, Indonesia dituntut aktif membersihkan udara dari pencemaran asap akibat pembakaran hutan dan lahan. Kita tentu tidak menginginkan negeri ini dicap sebagai bangsa pecundang karena kalah oleh penjahat lingkungan. Dengan meratifikasi undang-undang tersebut, Indonesia dituntut aktif membersihkan udara dari pencemaran asap akibat pembakaran hutan dan lahan. Media Indonesia, 18/09/2014, halaman 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar